80s toys - Atari. I still have

Skulls
Kamboja menghebohkan dunia ketika
komunis radikal Khmer Merah di bawah
pimpinan Pol Pot berkuasa pada tahun
1975. Saat itu, Pol Pot
memproklamirkan Kamboja sebagai
sebuah negara baru. Ia menyebut
tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala
sesuatunya ingin dibangun dari titik
nol. Tanggal 17 April 1975 dinyatakan
sebagai Hari Pembebasan (Liberation
Day) dari rezim Lon Nol yang buruk
dan korup. Ternyata, pembebasan
yang dijanjikan Pol Pot justru
merupakan awal masa kegelapan bagi
rakyat Kamboja.
Merdeka dari Perancis
Pada tanggal 9 November 1953,
Perancis mengakhiri penjajahannya di
Kamboja yang telah berlangsung sejak
tahun 1863 dan Kamboja pun menjadi
sebuah negara berdaulat. Setahun
kemudian mantan pemimpin negara
kawasan Indo-China itu, Raja Norodom
Sihanouk, kembali dari
pengasingannya di Thailand. Sihanouk
kemudian membentuk partai politik
dan menggelar pemilihan umum
(pemilu). Setelah memenangkan pemilu
ia berhasil mengusir orang-orang
komunis dan memperoleh seluruh
kursi pemerintahan.
Pada tahun 1955, untuk melepaskan
diri dari segala bentuk pelarangan
yang dibuat untuk raja oleh
perundang-undangan Kamboja,
Norodom Sihanouk mengembalikan
tahta kepada ayahnya, Norodom
Suramarit. Ia kemudian memasuki
dunia politik. Selama pemilihan
berturut-turut, pada tahun 1955,1958,
1962 dan 1966, partai bentukan
Norodom Sihanouk selalu
memenangkan kursi mayoritas di
parlemen.
Pada bulan Maret 1969, Pesawat
Amerika mulai mengebom Kamboja
untuk menghalangi jejak dan
penyusupan dari tentara Vietkong.
Pengeboman tersebut berakhir sampai
tahun 1973.
Pada tahun 1970, ketika Sihanouk
sedang berada di Moskow dalam
sebuah kunjungan kenegaraan,
Marsekal Lon Nol melakukan kudeta di
Phnom Penh. Lon Nol lalu menghapus
bentuk kerajaan dan menyatakan
Kamboja sebagai sebuah negara
republik. Sihanouk tidak kembali ke
negaranya dan memilih menetap di
Peking, China. Ia memimpin
pemerintahan dalam pelarian dan
Khmer Merah merupakan bagian dari
pemerintahan tersebut.
Khmer Merah
Khmer Merah (Bahasa Perancis: Khmer
Rouge) adalah cabang militer Partai
Komunis Kampuchea (nama Kamboja
kala itu). Pada tahun 1960-an dan
1970-an, Khmer Merah melakukan
perang gerilya melawan rezim
Shihanouk dan Marsekal Lon Nol. Pada
17 April 1975, Khmer Merah yang
dipimpin oleh Pol Pot berhasil
menggulingkan kekuasaan dan
menjadi pemimpin Kamboja.
Hanya dalam beberapa hari saja, rezim
baru ini telah menghukum mati
sejumlah besar rakyat Kamboja yang
tadinya bergabung dengan rezim Lon
Nol. Penduduk Phnom Phen dan juga
penduduk di provinsi lain terpaksa
keluar dari kota dan pindah ke daerah-
daerah penampungan. Phnom Phen
menjadi kota mati. Seluruh
perekonomian di seluruh negeri
berubah di bawah garis keras
komunis, Uang hilang dari peredaran.
Akibat dari semua itu adalah terjadinya
kelaparan dan wabah penyakit di
daerah tersebut.
Selama 44 bulan berikutnya, jutaan
orang Kamboja menjadi korban teror
dari Khmer Merah. Para pengungsi
yang berhasil lari ke Thailand
menceritakan kekejaman kelompok ini
yang antara lain menghukum mati
anak-anak hanya karena mereka tidak
lahir dari keluarga petani. Selain itu
orang-orang keturunan Vietnam dan
Cina juga turut diteror dan dibunuh.
Siapa saja yang disangka sebagai
orang yang berpendidikan, atau
menjadi angota dari keluarga
pedagang pasti dibunuh dengan cara
dipukul sampai mati, bukan dengan
ditembak dengan dalih untuk
menghemat amunisi.
Killing Fields (Ladang Pembantaian)
Masa empat tahun Pol Pot dan Khmer
Merahnya berkuasa di Kamboja, adalah
masa yang membuat seluruh dunia
geger. Khmer Merah berupaya
mentransformasi Kamboja menjadi
sebuah negara Maois dengan konsep
agrarianisme. Rezim Khmer juga
menyatakan, tahun kedatangan
mereka sebagai "Tahun Nol" (Year
Zero). Mata uang, dihapuskan.
Pelayanan pos, dihentikan. Kamboja
diputus hubungannya dengan luar
negeri. Hukum Kamboja juga
dihapuskan.
Rezim Khmer Merah dalam kurun
waktu tersebut diperkirakan telah
membantai sekitar dua juta orang
Kamboja. Ada sekitar 343 "ladang
pembantaian" yang tersebar di
seluruh wilayah Kamboja. Choeung Ek
adalah "ladang pembantaian" paling
terkenal. Di sini, sebagian besar
korban yang dieksekusi adalah para
intelektual dari Phnom Penh, yang di
antaranya adalah: mantan Menteri
Informasi Hou Nim, profesor ilmu
hukum Phorng Ton, serta sembilan
warga Barat termasuk David Lioy Scott
dari Australia. Sebelum dibunuh,
sebagian besar mereka
didokumentasikan dan diinterogasi di
kamp penyiksaan Tuol Sleng.
Penjara S-21 atau Tuol Sleng adalah
organ rezim Khmer Merah yang paling
rahasia. Pada 1962, penjara S-21
merupakan sebuah gedung SMA
bernama Ponhea Yat. Semasa
pemerintahan Lon Nol, nama sekolah
diubah menjadi Tuol Svay Prey High
School.
Tuol Sleng yang berlokasi di subdistrik
Tuol Svay Prey, sebelah selatan Phnom
Penh, mencakupi wilayah seluas 600 x
400 meter. Setelah Phnom Penh jatuh
ke tangan Khmer Merah, sekolah
diubah menjadi kamp interogasi dan
penyiksaan tahanan yang dituduh
sebagai musuh politik. Di “ladang
pembantaian” ini, para intelektual
diinterogasi agar menyebutkan
kerabat atau sejawat sesama
intelektual. Satu orang harus
menyebutkan 15 nama orang
berpendidikan yang lain. Jika tidak
menjawab, mereka akan disiksa. Kuku-
kuku jari mereka akan dicabut, lantas
direndam cairan alkohol. Mereka juga
disiksa dengan cara ditenggelamkan
ke bak air atau disetrum. Kepedihan
terutama dirasakan kaum perempuan
karena kerap diperkosa saat
diinterogasi.
Setelah diinterogasi selama 2-4 bulan,
mereka akan dieksekusi di Choeung Ek.
Sejumlah tahanan politik yang dinilai
penting ditahan untuk diinterogasi
sekitar 6-7 bulan, lalu dieksekusi.
Haing S Ngor yang masa itu berprofesi
sebagai seorang dokter adalah
segelintir intelektual yang berhasil
lolos dari buruan rezim Khmer Merah.
Haing dianugerahi Piala Oscar tahun
1984 atas perannya di film "The Killing
Fields". Dalam film itu, ia memerankan
tokoh Dith Pran, jurnalis Kamboja yang
selamat dari pembantaian. Namun
malang, Haing tewas terbunuh di
kediamannya di Los Angeles, AS, ketika
melawan perampokan yang dilakukan
tiga pecandu narkoba pada 1996.
Intervensi Vietnam
Pada tanggal 25 Desember 1978,
setelah beberapa pelanggaran terjadi
di perbatasan antara Kamboja dan
Vietnam, tentara Vietnam menginvasi
Kamboja. Tanggal 7 Januari 1979,
pasukan Vietnam menduduki Phnom
Penh dan menggulingkan
pemerintahan Pol Pot. Pemerintahan
boneka lalu dibentuk di bawah
pimpinan Heng Samrin, mantan
anggota Khmer Merah yang telah
membelot ke Vietnam. Namun
pemerintahan baru ini tidak diakui
oleh negara-negara Barat. Sementara
Pol Pot dan para pengikutnya lari ke
hutan-hutan dan kembali melakukan
taktik gerilya dan teror. Pol Pot yang
bernama asli Saloth Sar akhirnya
meninggal di tengah hutan pada 15
April 1998 karena serangan jantung.
Menuju Perdamaian
Pada tahun 1982, Tiga kelompok (faksi)
yang masih bertahan di Kamboja yaitu
Khmer Merah, dan Front kemerdekaan
nasional, netral, kedamaian dan kerja
sama Kamboja (FUNCINPEC) pimpinan
Pangeran Sihanouk, serta Front
nasional kebebasan orang-orang
Khmer yang dipimpin oleh perdana
menteri yang terdahulu yaitu Son
Sann, membentuk koalisi yang
bertujuan untuk memaksa keluar
tentara Vietnam. Tahun 1989, tentara
Vietnam akhirnya mundur dari
Kamboja.
Tahun 1992, PBB (UNTAC),
mengambilalih sementara
pemerintahan negara ini. Tahun
berikutnya, PBB menggelar pemilu
demokratis yang dimenangkan oleh
FUNCINPEC. Faksi ini kemudian
membentuk pemerintahan koalisi
bersama Partai Rakyat Kamboja (CPP)
pimpinan Hun Sen.
Sekarang, Kamboja telah berkembang
pesat berkat bantuan dari negara-
negara asing. Negara ini bahkan telah
menggelar persidangan terhadap
seorang mantan pemimpin Khmer
Merah atas dakwaan melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Rakyat di kota dan desa juga telah
hidup tenang walaupun dihantui
bahaya ranjau darat yang masih
banyak bertebaran di seluruh penjuru
negeri.


<<back